Selasa, 25 Oktober 2011

Mentari Baumann, Caleg Termuda di Pemilu Swiss yang Keturunan Indonesia

  •  Usia 18 Tahun, Bersaing dengan Senior Seumuran Kakeknya 
  •  Mentari Baumann, Caleg Termuda di Pemilu Swiss yang Keturunan Indonesia
     
SIAP PIMPIN SWISS: Mentari Baumann menunjukkan kartu suara yang ada namanya sebagai salah satu calon anggota parlemen. F-SUPRIANTO/JAWAPOS
Pemilu Swiss untuk memilih 200 anggota parlemen dihelat Minggu lalu (23/10). Di antara ribuan calon anggota legislatif (caleg) di sana, ada nama Mentari Baumann. Yang menarik, dia adalah caleg termuda dan keturunan Indonesia.

SUPRIANTO, Bern  



 PENAMPILAN dan gayanya khas para remaja. Raut muka dan mimiknya saat ngobrol juga memperlihatkan bahwa umurnya baru belasan tahun. Cuek dan tanpa beban. Namun, kalau sudah bicara politik, ekspresinya yang masih sering terlihat kekanak-kanakan itu pun berubah, mendadak serius dan menggebu.    Dialah Mentari Baumann, gadis kelahiran Swiss, 22 Agustus 1993. Umurnya memang baru 18 tahun 2 bulan. Meski bisa dibilang masih bau kencur, kalau sudah urusan politik, dia seolah tak mau kalah oleh para seniornya yang pantas menjadi bapak dan kakeknya.    “Sorry to keep you waiting. Sebab, saya juga baru memilih surat suara. Tentu saya memilih nama saya sendiri," katanya sembari tersenyum kepada Pontianak Post  yang menunggunya di rumah makan Rosengarten, Bern. "Laugh or cry, hasil pemilu saya terima dengan senang hati. Kalau saya tidak dipilih, pasti pemilih melihat karena saya masih muda dan masih banyak kesempatan," sambungnya.

    Menjelang pemilu Swiss, nama Mentari memang pernah menjadi bahan pembicaraan di negara yang berbatasan dengan Prancis, Jerman, dan Italia tersebut, terutama di kanton Bern, yang notabene merupakan ibu kota Swiss. Setidaknya, itu terjadi setelah koran Berner Zeitung meng-upload video hasil wawancara dengan Mentari di edisi online-nya meski hanya berdurasi 60 detik. Maklum, Mentari adalah calon anggota parlemen yang diajukan oleh partainya dari wilayah Bern (semacam daerah pemilihan). Sebab, Mentari berdomisili di Bern.

    Di surat suara, nama Mentari tertulis sebagai caleg bernomor urut 17 dari Partai Jungfreisinnige Sudost (Jf-So). Jf-So adalah under bow di bidang kepemudaan dari salah satu partai penguasa di pemerintahan Swiss, yakni FDP (Partai Liberal Radikal) yang sekarang memiliki 31 wakil di parlemen. "Kans saya untuk terpilih memang tidak besar. Sebab, di wilayah Bern saja, total ada  662 calon anggota parlemen," paparnya.    Sulung di antara dua bersaudara anak pasangan Hams Baumann (Swiss) dan Rita Baumann (Flores) yang pernah berlibur ke Indonesia itu mengatakan, sebelum mengenal politik, dirinya memang tertarik di bidang kepemimpinan (leadership). Bakat tersebut muncul ketika dia menginjak kelas 2 sekundarschule atau setingkat SMP. Saat itu dia mencalonkan diri menjadi ketua organisasi pelajar di sekolahnya (semacam OSIS) dan akhirnya terpilih. Nah, kala itu, jelas gadis yang suka menggerai rambutnya tersebut, salah seorang guru SMP-nya sering bercerita tentang kepemimpinan dan perpolitikan. "Dari situ, saya mulai tertarik terhadap politik dan baca banyak buku politik. Sampai papa dan mama bingung, apakah saya mampu jadi ketua," ujarnya.

    Mentari menuturkan, pengalaman di organisasi level sekolah tersebut membuatnya belajar mandiri. Karena itu, selepas sekolah setingkat SMP, dia memutuskan tidak mau membebani orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah setingkat SMA. Lalu, diputuskan dia melanjutkan pendidikan ke sekolah kejuruan dengan hanya masuk sekolah dua hari dan praktik kerja tiga hari di Departemen Luar Negeri Swiss.    Dari situ, selain bisa bersekolah gratis, setiap bulan dia mendapat gaji Fr 1.300 atau sekitar Rp 13 juta. Uang tersebut, selain bisa diberikan kepada ibunya dengan alasan sebagai uang ganti makan di rumah, dimanfaatkan untuk menyalurkan hobinya sebagai aktivis pemuda dan kegemaran berorganisasi. Hingga akhirnya, Mentari dilamar organisasi kepemudaan FPD, salah satu partai penguasa di pemerintahan Swiss.

    Menurut gadis yang bisa menari Bali dan suka baju batik tersebut, sejak aktif di partai, dirinya memang sangat berminat menjadi caleg. Namun, sebenarnya, targetnya bukan Pemilu 2011. Tetapi, minimal Pemilu 2015 (pemilu Swiss dihelat empat tahun sekali).     Namun, beberapa hari sebelum pencalegan, dia kaget ketika tiba-tiba ditelepon salah seorang petinggi partainya. Dia diberi tahu bahwa namanya sudah layak dimasukkan menjadi caleg. "Katanya, saya sudah layak sebagai representasi anak muda. Akhirnya, saya terima saja karena tidak mungkin menolak keinginan partai. Saya juga berpikir bahwa saya menjadi calon anggota parlemen termuda karena umur saya baru 18 tahun," ungkap dia.

    Menurut aturan Komisi Pemilihan Swiss, seorang caleg minimal berumur 18 tahun dengan alasan batas usia sudah dewasa. Namun, faktanya, selama ini jarang ada caleg yang berumur 18 tahun. Rata-rata, yang sudah resmi menjadi caleg minimal berusia 20 tahun. Lantas, apa yang melatarbelakangi keinginannya menjadi anggota parlemen? Penyuka masakan pedas ini menjelaskan, banyak anggota parlemen sekarang yang sudah tua dan konservatif. Mereka juga cenderung anti pemikiran dan masukan anak muda. Bahkan, yang menyakitkan, ide-ide anak muda Swiss seperti dia dan beberapa kelompok aktivis kepemudaan lain sering dianggap sebagai sampah yang tak perlu dilihat.

    “Padahal, kami berpikir panjang. Misalnya, kebijakan Schengen yang memperbolehkan pekerja dari luar Swiss bekerja di sini," ujarnya. Akibatnya, banyak pekerja dari Jerman, Prancis, dan Italia yang mau dibayar murah di Swiss. Nanti, semakin lama, banyak karyawan dari luar. "Juga, yang terancam kan anak-anak muda. Sebab, perusahaan tentu memilih yang mau digaji kecil. Padahal, asuransi di Swiss sekarang tiap tahun naik terus," paparnya, bersemangat.    Dengan dasar itulah, Mentari tetap bertekad sampai kapan pun akan berusaha menjadi anggota parlemen. Karena kengototan tersebut, dia beberapa kali ditawari partai lain untuk memperkuat kelompok pemuda partai yang menawarinya. Namun, dia menyatakan tetap loyal dengan partainya saat ini.    “Saya cukup menjadi anggota parlemen saja. Bukan menjadi pemerintah, apalagi presiden. Sebab, tujuh orang yang duduk di pemerintahan itu tetap dikendalikan parlemen dari partai masing-masing. Mereka tinggal menyetujui saja aturan-aturan. Yang membuat aturan tetap parlemen. Karena itu, saya hanya ingin duduk di parlemen," ungkapnya.

Sumber:

Selasa, 11 Oktober 2011

Keinginan Istri

Cerita Cerita Inspiratif Dan Motivasi
Sebagai seorang ibu rumah tangga, pernahkah kau merasa hampa??  Seorang sahabat pernah datang padaku, dia tak menangis juga tak tampak marah. Tapi matanya yang sayu seakan menggambarkan keadaan dirinya. Tanpa emosi berarti, ia curhat padaku perlahan-lahan namun sarat dengan masalah. Ia kelihatan lelah dengan hidupnya sendiri.
Ia menikah lebih dari 15 tahun, ibarat sebuah pohon maka rumah tangga mereka telah memiliki akar yang kuat. Ia tahu betapa banyak yang ia dan suaminya korbankan untuk perkawinan mereka. Ketidaksetujuan orangtua suami atas dirinya, membuat sang istri selalu berusaha menjadi istri terbaik untuk suaminya.
Istri yang memilih menikah di usia yang muda, mengorbankan karier yang begitu cemerlang demi memperbaiki hubungan dengan keluarga sang suami. Meskipun ia telah menunjukkan dedikasi yang begitu tinggi terhadap keluarga suami dan anak-anaknya, ternyata sama sekali tidak menggerakkan hati keluarga dari pihak suaminya terutama kedua mertuanya.  Bertahun-tahun kemudian bahkan ketika putra-putri mereka telah beranjak remaja, tetap tak ada persetujuan dari sang mertua untuknya.
Akhirnya Istripun menyerah, ia menawarkan pilihan untuk sang suami agar mengakhiri perkawinan mereka demi kepentingan semua pihak. Tetapi sang suami menolak dengan alasan demi anak-anak. Meskipun sulit akhirnya mereka berdua sepakat bahwa kalau perjuangan ini diteruskan justru tak baik bagi anak-anak karena melihat ibu mereka dicaci maki nenek dan kakeknya. Namun setelah peristiwa itu, suami berubah jadi protektif dan sangat pengatur.
Ia memang tak pernah banyak bicara, tetapi ia tidak membolehkan ada pembantu di rumah tangga mereka sehingga istri terpaksa tinggal di rumah mengurus anak-anak mereka yang meskipun sudah besar-besar, tapi sebenarnya masih sangat membutuhkan perhatian. Suaminya juga membatasi keuangan yang ditangani istrinya dengan berbagai alasan. Sang Istri yang memang sudah lelah dengan berbagai perselisihan dengan keluarga suaminya pun tak banyak bicara, ia memilih mengikuti semua keinginan sang suami. Ia kasihan pada suaminya yang harus terombang-ambing antara keluarganya sendiri dan keluarga besarnya.
Ketika kutanya kenapa ia tak berdiskusi tentang keuangan rumah tangga dengan suaminya? Ia tersenyum pahit dan memberi alasan.
“Aku kasihan dengan suamiku, ia sudah mengalami banyak penderitaan sejak masih kecil dulu. Aku ingin ia bahagia bersamaku, aku ingin ia melihatku sebagai istri yang ia memang inginkan, tak banyak tingkah, patuh padanya dan mau hidup menderita bersamanya.”
Memang aku mengenalnya sosok sahabatku  dulu begitu dinamis, pandai berbicara, penuh energi, penuh ide-ide briliant memang telah berubah banyak. Kini ia lebih banyak berkurung di rumah, bahkan terkadang tak keluar dari rumah berhari-hari, menghabiskan hidupnya di depan internet setelah menyelesaikan semua urusan rumah tangga, ia menyambut anak-anaknya dengan serentetan jadwal rutin lalu ketika satu persatu putra putrinya pergi ke sekolah atau ke tempat-tempat kursus, ia duduk seharian di depan internet bermain game-game facebook. Aku bertemu melalui jaring sosialisasi itu juga dengannya dan agak kaget melihat perubahan besarnya.
Ia melihat kesibukanku yang beragam, sempat menyatakan ketertarikannya. Ia belajar beberapa ide kreatif seperti menjahit dan membuat kue. Tapi karena pada dasarnya ia tak suka, ia melupakannya dengan cepat dan lebih banyak tenggelam dalam dunia games. Beberapa kali ia kuajak membuat blog, tetapi ia tak tertarik dengan alasan tak suka menulis.
Sampai hari ketika ia mengadu padaku, satu-satunya komputer yang membuatnya bahagia telah rusak. Sang suami yang sudah bosan melihat istrinya setiap hari bermain games, tidak mau memperbaikinya.  Bisa dibayangkan, mereka berduapun bertengkar hebat. Sahabatku itu bercerita, ia bahkan melemparkan dan menendang unit CPU itu hingga pecah sebelum memutuskan keluar rumah meredakan emosi.
Dia bilang, ia menumpahkan semua isi hatinya. Ia mengatakan bahwa ia lelah harus terus menerus mendengar keluhan suaminya mengenai buruknya ekonomi yang mempengaruhi keuangan rumah tangga. Ia lelah menahan diri karena tak bisa membeli baju, buku bahkan sekedar memberi kado hadiah ulang tahun anak-anaknya, sahabat2nya dan bahkan orangtuanya hanya karena suaminya menganggap ulang tahun bukanlah hal penting. Ia lelah mengalah demi semua kepentingan di rumah. Ia harus mengalah dengan mengenakan baju-baju tua agar anak-anaknya bisa punya seragam baru. Ia lelah menahan diri untuk tidak keluar rumah meskipun bosan karena kuatir nanti di mall malah menghabiskan uang saja, walaupun cuma ongkos transport. Ia lelah harus menelan kekecewaan karena uang jajan yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit dari sisa uang belanja yang sangat minim, tapi akhirnya digunakan anak-anaknya yang tak berani meminta ataupun malah dicuekin oleh sang suami. Ia lelah karena setiap kali meminta pada suami harus mengambek berhari-hari dulu dan kalaupun diberikan bukanlah sesuai keinginannya, selalu ada bagian yang dikurangi. Ia lelah karena harus memikirkan keinginan setiap orang, sementara keinginannya harus dikuburkan dalam-dalam hanya karena ia seorang istri yang cuma berdiam di rumah.
Ia merasa dunia games adalah dunia impian di mana ia bisa mencurahkan kecerdasannya. Ia tak perlu berdebat, menunggu atau menelan kekecewaan. Di games, ia bisa melarikan semua masalahnya, mendapatkan kebahagiaan walaupun cuma sebentar dengan memenangkan sebuah permainan. Ia menikmati kesibukan saat harus mencuci sambil menunggu gamesnya terdownload, atau saat ia berbagi “gift” sambil memasak.
Aku   harus akui, apa yang dialami sahabatku juga pernah kualami sendiri. Tapi aku beruntung karena anak-anak selalu membuatku sibuk. Mungkin karena mereka masih terlalu kecil sehingga aku masih harus ekstra perhatian pada mereka.  Aku juga harus berbagi komputer dengan putra-putriku sehingga tak terlalu punya banyak waktu untuk bermain. Aku juga bebas kesana kemari kalau sedang bosan di rumah dan suamiku tak pernah keberatan menjaga anak-anak untukku.
Di akhir percakapan kami, sahabatku tertawa miris. Ia bilang ia ingin sekali melarikan diri dari semua kesumpekan dari rumahnya, tapi sayang ia tak punya apa-apa. Seluruh tabungannya saat bekerja dulu habis sedikit demi sedikit menutupi kebutuhannya selama ini dan dari suami, ia tak pernah mendapatkan apapun.
Aku hanya bisa mengingatkan agar dia berbicara dengan suaminya tentang keadaan rumah tangga mereka. Komunikasi sangat penting untuk mencapai kesepakatan dan mencari jalan terbaik bagi keinginan masing-masing. Tetapi sahabatku malah tertawa, masih dengan kemirisan, bahwa berbicara adalah sesuatu hal yang tak mungkin karena itu berarti Suara Suami adalah Suara Tuhan di rumahnya. Kalau sang suami kalah berdebat, maka ia akan langsung meninggalkan sang istri tanpa kata apapun dan tetap mempertahankan prinsipnya sendiri.
Aku hanya bisa berharap dan berdoa semoga suami sahabatku itu mau mendengarkan istrinya satu kali saja. Jeritan hati istri itu penting untuk didengar, agar mentalnya tetap sehat. Mental ibu yang stress juga sangat mempengaruhi perkembangan jiwa anak-anak. Keinginan seorang istri itu sederhana, perhatian dari suami walaupun cuma kata-kata “aku sayang kamu” bisa menjadi spirit yang menggema di jiwanya yang rapuh. Keinginan istri itu hanyalah agar perhatian suami tak cuma tertumpu pada stabilitas ekonomi rumah tangga atau anak-anak semata, ia juga ingin didengarkan, ingin diperhatikan, dan ingin agar dihargai. Sehelai kaus murahan di obralan bisa jadi berlian jika diberikan dengan ketulusan dan perhatian. Hadiahkan apa yang ia butuhkan bukan apa yang dipaksakan. Ia akan melupakan hal-hal lain dan akan lebih memperhatikan kebutuhan sang suami, jika kebutuhannya pun diperhatikan. Istri terutama jika ia telah menjadi ibu selalu memikirkan anak, anak, anak dan suami terlebih dahulu. Keinginannya selalu menjadi yang terakhir di dalam pikiran setiap ibu. Jadi kumohon para suami, hormatilah keinginan istri dan percayalah jika kau memilihnya karena ia orang yang baik maka ia akan bisa kembali menjadi sosok saat pertamakali bertemu, asalkan setiap suami juga kembali seperti saat menikah dulu yang memperhatikan dirinya, memperhatikan keinginannya….
Semoga Allah S.W.T membuka pintu-pintu hati yang tertutup dan menjadikan keluarga-keluarga kita menjadi keluarga sakinah mawaddah warohmah.

Sumber

Kisah Inspirasi Untuk Para Istri Dan Suami

Cerita Cerita Inspiratif Dan Motivasi
Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi,  ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat  pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya  dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

Sumber

Kamis, 06 Oktober 2011

Mantan Guru, Berguru Ilmu Perang Ke Yugoslavia

Widodo Harjoprawito, Ahli Balistik yang Pernah Jadi Penasihat Militer Bolivia
Mantan Guru, Berguru Ilmu Perang ke Yugoslavia

Widodo Harjoprawito adalah salah seorang produk sengketa politik pada 1965. Sempat hijrah ke berbagai negara karena kondisi tanah air runyam, dia kembali ke Indonesia membawa pengetahuan tentang persenjataan. Siapa dia?

AGUNG PUTU ISKANDAR, Jakarta
Dalam sidang peninjauan kembali (PK) kasus pembunuhan bos PT Rajawali Putra Banjaran Nasruddin Zulkarnaen di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pekan lalu, Widodo tampil sebagai saksi ahli yang membela terpidana Antasari Azhar. Dari pemeriksaan kondisi dua peluru kaliber 0,38 inci yang membunuh Nasrudin, Widodo membeber fakta mengejutkan. Dia mengatakan, dua peluru itu meluncur dari dua pistol berbeda.
Selain itu, melihat kondisi peluru tersebut, satu peluru ditembakkan tanpa medium. Artinya, peluru itu ditembakkan langsung ke kepala korban. Padahal, versi polisi selama ini menyebutkan bahwa suami siri Rani Juliani itu ditembak dari luar kaca mobil. ’’Satu peluru masih utuh saat diambil dari kepala korban, sedangkan satunya sudah penyok, bahkan berupa serpihan. Mereka tidak melewati medium yang sama,’’ kata lelaki 76 tahun itu.
Dasar pernyataan Widodo adalah berita acara pemeriksaan laboratoris kriminalistik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Satu peluru memiliki berat 9,605 gram dan satunya 5,855 gram. Jika belum ditembakkan, dua peluru tersebut memiliki berat yang sama, 10,1 gram. ’’Peluru pertama menunjukkan bahwa dia sangat mendekati utuh. Sedangkan peluru kedua seperti berupa serpihan karena melalui medium keras (kaca mobil, Red) sebelum sampai ke korban,’’ katanya.
Ini berarti membuka berbagai kemungkinan tentang kematian Nasruddin. Bisa jadi dia dihabisi sebelum Daniel Daen Sabon (eksekutor Nasruddin yang disewa Williardi Wizard) menembaknya dari luar mobil dalam perjalanan pulang dari padang golf Modern Land, Tangerang. Apalagi, posisi peluru tersebut berada di belakang-bawah telinga sebelah kiri menembus otak kecil. Dengan fakta itu, mustahil menembak Nasruddin dalam posisi duduk.
’’Saya tak mau berspekulasi. Saya cuma kasih pendapat bahwa satu peluru (yang ditembakkan mengenai otak kecil, Red), ditembakkan secara langsung, tanpa melewati medium keras seperti kaca. Itu tugas penyelidik untuk membuktikannya,’’ kata Widodo yang ditemui di kawasan perkantoran Menteng, Jakarta Pusat (3/10).
Nama Widodo di jagat balistik memang jarang terdengar. Dia baru muncul saat memberikan kesaksian untuk Antasari dan Williardi Wizar (perwira menengah polisi yang juga menjadi terpidana kasus pembunuhan Nasruddin). Sebelumnya, nama Widodo nyaris tak pernah muncul. ’’Saya tak terlalu banyak muncul dan bicara soal persenjataan. Soalnya, nanti takut ada yang tersinggung kalau sampai saya sebut rahasia negara,’’ katanya lantas terkekeh.
Widodo saat ini berusia 76 tahun. Lama berkecimpung di dunia balistik membuat pendengarannya berkurang. Dalam sidang Antasari, dia harus didampingi seorang pengacara untuk mengulang pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan berbagai pihak. Meski sudah senior, Widodo selalu bersemangat kalau berbicara soal persenjataan. ’’Kalau orang sudah cinta pada profesi, apa saja dilakukan seperti melakukan hobi,’’ katanya.
Lelaki kelahiran Bojonegoro, Jatim, 1935 itu memang termasuk orang lama di dunia balistik Indonesia. Pada 1963, dia masuk ke PT Pindad di bagian penelitian dan pengembangan. Padahal, Widodo sama sekali tidak berlatar belakang militer. Dia hanya lulusan jurusan ilmu pasti Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG)  Malang –sekarang menjadi Universitas Negeri Malang. Setelah lulus pada 1958 dan menjadi guru di beberapa SMA, Widodo lantas melamar ke PT Pindad. ’’Saya hidup di masa perang. Karena itu, saya suka sekali terlibat di hal-hal tentang perang,’’ katanya.
Widodo termasuk orang yang menyaksikan sendiri sejumlah peperangan di Indonesia. Saat masih belasan tahun, dia sempat menyaksikan bom diluncurkan di dekat rumahnya di Bojonegoro dan beberapa kontak senjata di daerah  Lamongan. ’’Dulu bapak saya kan pernah jadi camat di Semlarang, Lamongan.  Makanya, sejak kecil saya selalu senang dengan peperangan,’’ katanya.
Di Pindad, gairah Widodo terhadap dunia militer terpenuhi. Dia menjadi orang yang mengurusi penelitian balistik dan roket. Penelitian dan pengembangan itu sempat menuai hasil. Pindad pernah mampu menerbangkan roket kecil berukuran 5 sentimeter bikinan sendiri. Prestasi itu diganjar oleh Kepala Laboratorium PT  Pindad Azwar Anas (yang kemudian menjadi menteri perhubungan dan menko kesra di era Presiden Soeharto) untuk tugas belajar persenjataan ke Yugoslavia.
Widodo berangkat ke negara Balkan itu pada 1964. Dia belajar persenjataan di Yugoslavia lima tahun hingga 1969. Masa belajar lima tahun itu tak dihabiskan Widodo hanya di kelas-kelas teori. Sering dia menyelidiki sendiri gudang-gudang senjata Yugoslavia. Ternyata, militer negeri yang pecah sejak 2003 lalu itu menyembunyikan senjata dengan dikubur dalam tanah jauh di dalam hutan. ’’Sebab, kalau diletakkan dalam gudang, tinggal di bom saja sama musuh,’’ katanya.
Gara-gara rasa penasaran yang tinggi itu, Widodo sempat ditangkap tentara Yugoslavia karena dianggap mata-mata. Mantan guru di SMA 6 Jakarta itu sempat meringkuk di tahanan empat hari sebelum akhirnya dilepaskan. ’’Saya bilang, saya bukan mata-mata. Indonesia tidak memiliki persoalan dengan Yugoslavia,’’ katanya.
Karena sedang tugas belajar di Yugoslavia itulah, Widodo tidak mengalami peristiwa kelam Gerakan 30 September (G 30 S). Namun, dia terus memonitor perkembangan di tanah air. ’’Saya bilang pada diri saya, itu bukan perang saya. Kalau PKI yang menang, bisa jadi orang-orang PNI (Partai Nasionalis Indonesia, Red) yang dibunuhi,’’ katanya.
Widodo memang aktivis tulen saat muda. Dia pernah menjadi Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) PTPG Malang. Karena itu, saat tugas belajarnya selesai pada 1969, Widodo menolak kembali ke Indonesia. Sebab, para aktivis GMNI ditangkapi oleh Orde Baru karena dianggap berafiliasi dengan PNI. ’’Beberapa kelompok di PNI dulu dianggap PKI, ditangkapi,’’ katanya.
Widodo pun desersi. Dia memutuskan untuk berimigrasi ke Kanada pada 1970. Bapak dua anak itu lantas bekerja di sebuah perusahaan asuransi. Salah seorang pimpinannya kemudian menawari dia bekerja di pertambangan emas di Bolivia. Sebab, pengetahuan Widodo tentang bahan peledak bisa dimanfaatkan. Widodo lantas hijrah ke Bolivia pada 1972. (jpnn)


Rabu, 05 Oktober 2011

Ujian Pakai Mesin Tik, Jadi Sumber Contekan

Kehilangan Penglihatan, Mimi Mariani Lusli Tetap Gigih di Dunia Pendidikan
CERIA: Mimi Lusli tampak ceria saat ditemui di Mimi Institute Kompleks Taman Harapan Indah, Jakbar, Selasa (27/9).

Meski kehilangan indra penglihatan pada usia sepuluh tahun, Mimi Mariani tidak mau diperlakukan khusus. Ingin membuka jurusan disability di perguruan tinggi.

DHIMAS GINANJAR, Jakarta

ORANG yang belum mengenal Mimi Mariani Lusli pasti tidak menyangka bahwa perempuan kelahiran 17 Desember 1962 itu tunanetra. Maklum, dia terlihat percaya diri dengan penampilannya yang selalu modis. Dia juga tidak menggunakan tongkat saat berjalan.

Ketika berbincang, dia juga seakan memperhatikan lawan bicaranya. Si lawan bicaranya pun pasti dengan gampang bakal bisa menebak bahwa Mimi adalah perempuan berpendidikan tinggi.

“Saat ini, saya mengambil gelar doktor di Vrije Universiteit, Amsterdam, yang memiliki kerja sama dengan Universitas Indonesia,” ujarnya.

Yang lebih istimewa, seluruh jenjang pendidikan hingga memburu gelar kedoktoran di Faculty of Earth and Life Sciences itu ditempuh dengan jalur layaknya orang yang berpenglihatan normal.

Cara Mimi kuliah juga sama, berbaur bersama mahasiswa lain. Hilangnya indra penglihatan perempuan bernama lengkap Veronika Laetitia Mimi Mariani Lusli itu berawal ketika dirinya duduk di bangku SD Candranaya, Jakarta Barat.

Pandangannya mulai kabur saat dia duduk di kelas V SD. Katanya, dia mengalami penyakit genetis retinitis pigmentosa atau penyakit degenerasi retina.

Penyakit yang cenderung menurun secara genetis itu mengakibatkan degenerasi fotoreseptor retina secara bertahap. Hingga akhirnya, pada usia 17 tahun, Mimi benar-benar kehilangan indra penglihatan.

Jauh sebelumnya, tepatnya sejak kelas V SD, dia tidak duduk di bangku sekolah. Saat kakak dan adiknya pergi bersekolah, Mimi kecil harus menjalani perawatan di dokter mata dan dokter saraf.

Selama proses itu berjalan, dia akhirnya bersekolah di Sekolah Tunagrahita Bakti Luhur, Malang, Jawa Timur. “Saat lulus, saya merasakan sendiri bagaimana sulitnya mencari sekolah lagi bagi tunanetra,” imbuhnya.

Setelah menyelesaikan pendidikan setara SMP di Malang pada 1982, Mimi melanjutkan di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Santa Maria (1982-1985).

Gelar sarjana baru dia peroleh empat tahun kemudian di IKIP Sanata Dharma, Jogja. Dilanjutkan Master of Sains di Universitas Indonesia (UI) dan lulus pada 1997. Ada kisah lucu saat dia duduk di bangku kuliah, terutama ketika ujian datang. Mimi yang terbatas dalam melihat itu justru menjadi sumber contekan bagi teman-temannya.

Bagaimana tidak, Mimi yang menyelesaikan soal ujiannya melalui mesin tik itu selalu duduk paling depan. “Mesin tik memang memudahkan saya saat itu,” terangnya.

Nah, tipikal kertas yang dimasukkan ke dalam mesin tik yang selalu berdiri tegak membuat jawaban Mimi mudah dilirik temannya. Terutama saat ujian yang bersifat multiple choice.

Tanpa malu-malu, temannya yang memiliki pancaindra lengkap justru memanfaatkan hal itu untuk mencontek. Lama-kelamaan ketahuan, akhirnya saya dipindah ke bangku paling belakang,” kenangnya.

Keterbatasan justru membuat dirinya memiliki banyak teman. Bagaimana tidak, Mimi dikenal paling rajin untuk membaca diktat dan memiliki kemampuan mengingat yang tinggi. Tidak jarang, dia dimintai saran untuk mengerjakan tugas.

Dia pun memperoleh manfaat dari pertemanan itu. Sebab, bagaimanapun, dia tetap membutuhkan pertolongan. Terutama, saat ada tugas, Mimi harus bekerja sampai tiga kali dibanding teman-temannya.

Pertama, dia meminta temannya membacakan buku. Kedua, dia membuat jawabannya melalui huruf braille. Terakhir, dia meminta temannya menerjemahkan jawabannya ke huruf latin.

Keseriusannya bersekolah membuat Mimi memperoleh beasiswa dari British Council untuk studi Master of International Communication di Leeds University, Inggris.  Setelah itu, dia sempat tercatat sebagai satu-satunya dosen tunanetra di Universitas Atmajaya, Jakarta.

“Sekarang sudah bukan dosen tetap, lebih banyak jadi dosen tamu,” urainya.

Karirnya di dunia pendidikan tidak berhenti di situ. Berawal dari keprihatinannya terhadap tunanetra atau anak berkebutuhan khusus (ABK) yang tidak bisa berbuat apa-apa, Mimi pun berinisiatif mendirikan sebuah tempat konseling. Dia menamai tempat itu Mimi Institute yang diberi tagline: Mainstreaming Disability for Better Life. Lembaga yang didirikan pada Desember 2009 tersebut bertujuan membiasakan isu kecacatan ke lingkungan.

Manfaatnya, agar lingkungan lebih ramah terhadap ABK. Dengan demikian, mereka tidak perlu lagi disembunyikan oleh keluarga. “Kalau bicara perempuan, pasti ada yang cacat. Bicara anak, pasti ada yang cacat,” jelasnya.

Pemberdayaan orang cacat yang difokuskan di Kompleks Taman Harapan Indah, Jakarta Barat, itu dilakukan dengan tiga cara. Yakni, konsultasi, pelatihan, dan publikasi. Di tempat belajar yang diwarnai ornamen khas anak kecil itu, Mimi dan timnya berusaha membesarkan ABK dan orang tuanya.

Orang tua dibesarkan hatinya supaya tidak lagi malu memiliki anak cacat. Juga, diajari cara untuk lebih bersabar dalam mendidik ABK, termasuk agar tidak terlalu memanjakannya. Sebab, sang anak justru akan semakin sulit diajari sesuatu. “Sedikit-sedikit sudah merengek. Kami jadi sulit mengajari,” ungkapnya.

Apalagi, orang tua yang datang ke Mimi Institute didominasi mereka yang mengaku sudah lelah mengurus ABK. Hal itu menyayat hati Mimi karena ABK masih dinilai sebagai anak yang merepotkan. Susahnya, orang tua juga tidak memiliki komitmen untuk mendidik anaknya. “Di sini tega, tapi sampai rumah tidak tega,” ujarnya.

Anak pasangan Kuswandi Lusli dan Yuliawati itu sebenarnya ingin orang tua bisa berkomitmen. Sebab, proses perubahan ABK ke arah yang lebih baik membutuhkan waktu cukup lama. Pelatihan intensif bisa memakan waktu minimal tiga bulan, enam bulan, hingga tiga tahun. (*/c5/ttg)

Sumber

◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Motivasi dan Inspirasi: Oktober 2011 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates