Orang Malaysia pun berkata " Kita mau tenggelam. kita harus membuang beberapa muatan kita " Lalu orang Amerika menyahut, " Saya punya peti yang berisi beberapa jeans. Di negara saya yang seperti itu murah-murah. " Kemudian bergegaslah kelimanya mencarai peti yang dimaksud dan membuangnya ke laut.
Meskipun sedikit lebih baik, tampaknya kapal masih bisa karam. Orang Amerika pun berkata, “Ada yang mau berkorban lagi?” Orang Jepang pun menyahut, “Saya punya peti penuh isinya kimono semua. Di negara saya yang seperti itu murah-murah.” Maka dibuanglah peti yang dimaksud.
Namun amukan badai dan ombak belum juga reda dan terus mengoyak kapal mereka. Orang Jepang pun berkata, “Harus ada yang dibuang lagi.” Si Arab pun segera menjawab, “Saya punya beberapa peti berisi gamis. Di negara saya, yang seperti itu murah-murah.” (apalagi dia jual dengan slogan ‘dijamin tidak luntur’. Namun ketika pelanggan mengadu saat bajunya luntur dengan santai ia jawab, orang arab baca dari kanan ke kiri bukan sebaliknya. Jadi baca slogannya baik-baik! Ngomong-ngomong si saudagar Amerika pernah sial juga saat dagang di Arab. Waktu dia mempromosikan Coca Cola, dia sudah promosi besar-besaran tapi tetap saja rugi. Di media promosinya ada tiga gambar. Pertama, gambar orang loyo dan kehausan di padang pasir. Gambar kedua orang minum Coca Cola. Gambar ketiga orang sehat bugar. Tapi karena dia baca dari kiri ke kanan dan orang arab baca dari kanan ke kiri maka persepsi dan hasil iklannya jadi berbeda. Oke, mari kita kembali ke jalan yang benar. Cerita berikutnya.)
Sayangnya peti berisi gamis tidak terlalu menolong. Si Arab pun berteriak, “Adakah yang mau berkurban lagi?” Lalu orang Indonesia menjawab, “Saya punya beberapa peti berisikan baju-baju batik. Di negara saya yang seperti itu murah-murah.” Mereka pun mencari peti itu dan membuangnya ke laut.
Akan tetapi kapal masih belum bisa seimbang. Meskipun demikian hampir tidak ada lagi barang-barang yang bisa dibuang. Keempat saudagar dari Indonesia, Jepang, Arab dan Amerika pun menoleh ke orang Malaysia.
Si Malaysia pun bingung karena baju batik sudah keburu diklaim sama orang Indonesia. Dia punya apa sekarang? Dia bergumam, “Kenapa nggak bawa reog ponorogo ya kemarin???” Namun dengan tenang dia berkata, “Di negara saya, orang-orang Indon macam dia murah-murah. Bagaimana kalau kita buang saja dirinya?” Telunjuknya mengarah tepat ke dahi orang Indonesia.
(Kalau cerita versi orang yang sentimen sama Indonesia pastilah si saudagar Indonesia ramai-ramai dibuang ke laut. Tapi saya tipe orang yang suka bercerita mengenai keadilan. Yang benar akan menang dan yang jahat akan kalah ^ ^)
Akhirnya orang Indonesia menjawab, “Pencapaian besar hampir selalu terjadi karena pengorbanan. Bukan karena tindakan mementingkan diri sendiri. Apalagi mengorbankan teman sendiri. Jika ada orang yang paling suka mengorbankan temannya dalam team, maka bukankah dia yang paling pantas untuk disingkirkan dari team?” Si saudagar Amerika pun setuju dengan mengangguk-anggukkan kepalanya. Begitu juga saudagar dari Jepang dan Arab. Bagaimana dengan orang Malaysia? Apakah dia setuju?
Si Malaysia pun berkata, “Baiklah saya khilaf. Saya akan mengorbankan diri saya sebagai seorang ksatria. Tetap hiduplah kalian dan jangan sia-siakan pengorbananku ini !!! hiks..hiks..hiks…”
Segera dia menceburkan diri ke laut diiringi kata “Jangaaaaaaaaaaaannnnn..!!!!” dari keempat temannya. Namun si Malaysia sudah terlanjur melompat. Begitulah akhir cerita. Meskipun kalau dilanjutkan ceritanya bisa saja terjadi kejadian-kejadian yang lebih konyol. Tapi kita harus menghentikan ceritanya dikarenakan ini bukan novel dan kita harus segera mengambil beberapa hikmah.
Pertama, mari kita bertanya pada diri sendiri. Sudahkah kita memberikan pelayanan terbaik bagi orang-orang di sekitar kita? Sudahkah kita ikhlas berbagi kepada sesama yang membutuhkan? Apakah kita suka mementingkan diri sendiri atau golongan sendiri? Ataukah kita sudah benar-benar berkontribusi untuk umat, menghitung manfaat & kerugian dari tindakan-tindakan maupun keputusan-keputusan yang kita buat? Apakah kita sudah benar-benar terbebas dari nafsu berkuasa dan bersikap tidak adil, ingin meneguhkan posisi kita meskipun harus mengorbankan teman sendiri? Sudahkah kita berkorban untuk kepentingan yang lebih besar? Tidak lagi cinta dunia dan takut mati ataupun takut hidup menderita. Bukankah berkorban itu pada awalnya membuat diri kita merasa tidak nyaman namun pada akhirnya justru membantu melapangkan dada kita?
Kedua, saya ingin mengulang dua kalimat heroik dari saudagar Indonesia dan Malaysia. “Pencapaian besar hampir selalu terjadi karena pengorbanan. Bukan karena tindakan mementingkan diri sendiri. Apalagi mengorbankan teman sendiri. Jika ada orang yang paling suka mengorbankan temannya dalam team, maka bukankah dia yang paling pantas untuk disingkirkan dari team?” “Saya akan mengorbankan diri saya sebagai seorang ksatria. Tetap hiduplah kalian dan jangan sia-siakan pengorbananku ini !!!”
( story by nafis mudrika )
0 komentar:
Posting Komentar