Senin, 24 Desember 2012

Pendapat Ibnu Hajar dan Imam Nawawi masalah Isbal

Bismlillah
Assalamualaikum sahabat Pojok

Beberapa hari yang lalu saya nyasar ke sebuh page yang memperdebatkan masalah ISBAL, debat yang alot dan tak ada yang mengalah ataupun mengkalim menang. Ada yang mengharamkan secara mutlak isbal, KAKU tak bisa diganggu gugat, ada yang menharamkannya jika dilakukan karna Ria'. Saya pribadi lebih cenderung pada pendapat ulama yang yang mengharamkan ISBAL karna tujuan Ria' dan Untuk dimaklumi di sini saya hanya mengutarakan pendapat ulama-ulama yang saya ikuti, bagi anda yang sepakat mengharamkan ISBAL secara mutlak mungkin bisa mencari referensi ditempat lain, atau kalau sekedar mau baca-baca dan tidak bermaksud ingin mendebat dipersilahkan,

hmmm sebelumnya adakah yang belum tahu apa itu ISBAL?
ISBAL sama artinya dengan memanjangkan kain melebihi mata kaki untuk laki-laki.

Bagaimana hukum ISBAL menurutu pendapat Ibnu Hajar dan Imam Nawawi

  1. Ibnu Hajar Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani,

    seorang yang dengan sukses menulis syarah (penjelasan) kitab Shahih Bukhari. Kitab beliau ini boleh dibilang kitab syarah yang paling masyhur dari Shahih Bukhari. Beliau adalah ulama besar dan umat Islam berhutang budi tak terbayarkan kepada ilmu dan integritasnya. Khusus dalam masalah hukum isbal ini, beliau punya pendapat yang tidak sama dengan Syeikh Bin Baz yang hidup di abad 20 ini yang mengharamkan mutlak Isbal.
    Beliau memandang bahwa haramnya isbal tidak bersifat mutlak. Isbal hanya haram bila memang dimotivasi oleh sikap riya'. Isbal halal hukumnya bila tanpa diiringi sikap itu.Ketika beliau menerangkan hukum atas sebuah hadits tentang haramnya isbal, beliau secara tegas memilah maslah isbal ini menjadi dua. Pertama, isbal yang haram, yaitu yang diiringi sikap riya'. Kedua, isbal yang halal, yaitu isbal yang tidak diiringi sikap riya'.
    Berikut petikan fatwa Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.

    Di dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa isbal izar karena sombong termasuk dosa besar. Sedangkan isbal bukan karena sombong (riya'), meski lahiriyah hadits mengharamkannya juga, namunhadits-hadits ini menunjukkan adalah taqyid (syarat ketentuan) karena sombong. Sehingga penetapan dosa yang terkait dengan isbal tergantung kepada masalah ini. Maka tidak diharamkan memanjangkan kain atau isbalasalkan selamatdari sikap sombong
    . (Lihat Fathul Bari, hadits 5345) 


  2. Al-Imam An-Nawawi

    Al-Imam An-Nawawi rahimahullah adalah ulama besar di masa lalu yang menulis banyak kitab, di antaranya Syarah Shahih Muslim. Kitab ini adalah kitab yang menjelaskan kitab Shahih Muslim. Beliau juga adalah penulis kitab hadits lainnya, yaitu Riyadhus-Shalihin yang sangat terkenal ke mana-mana. Termasuk juga menulis kitab hadits sangat populer, Al-Arba'in An-Nawawiyah. Juga menulis kitab I'anatut-Thalibin dan lainnya.

    Di dalam Syarah Shahih Muslim, beliau menuliskan pendapat:
    Adapun hadits-hadits yang mutlak bahwa semua pakaian yang melewati mata kaki di neraka, maksudnya adalah bila dilakukan oleh orang yang sombong. Karena dia mutlak, maka wajib dibawa kepada muqayyad, wallahu a'lam.Dan Khuyala' adalah kibir (sombong). Dan pembatasan adanya sifat sombong mengkhususkan keumuman musbil (orang yang melakukan isbal) pada kainnya, bahwasanya yang dimaksud dengan ancaman dosa hanya berlaku kepada orang yang memanjangkannya karena sombong. Dan Nabi SAW telah memberikan rukhshah (keringanan) kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq ra seraya bersabda, "Kamu bukan bagian dari mereka." Hal itu karena panjangnya kain Abu Bakar bukan karena sombong.

Maka klaim bahwa isbal itu haram secara mutlak dan sudah disepakati oleh semua ulama adalah klaim yang kurang tepat. Sebab siapa yang tidak kenal dengan Al-Hafidz Ibnu Hajar dan Al-Imam An-Nawawi rahimahumallah. Keduanya adalah begawan ulama sepanjang zaman. Dan keduanya mengatakan bahwa isbal itu hanya diharamkan bila diiringi rasa sombong.
Maka haramnya isbal secara mutlak adalah masalah khilafiyah, bukan masalah yang qath'i atau kesepakatan semua ulama. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Dan itulah realitasnya.
Pendapat mana pun dari ulama itu, tetap wajib kita hormati. Sebab menghormati pendapat ulama, meski tidak sesuai dengan selera kita, adalah bagian dari akhlaq dan adab seorang muslim yang mengaku bahwa Muhammad SAW adalah nabinya. Dan Muhammad itu tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlaq.
Pendapat mana pun dari ulama itu, boleh kita ikuti dan boleh pula kita tinggalkan. Sebab semua itu adalah ijtihad. Tidak ada satu pun orang yang dijamin mutlak kebenaran pendapatnya, kecuali alma'shum Rasulullah SAW. Selama seseorang bukan nabi, maka pendapatnya bisa diterima dan bisa tidak.

Sekian semoga bermanfaat, semoga kita tidak lagi saling menyesatkan dan mengkafirkan sesama kita.....
wassalamualaikum

0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►