Selasa, 25 September 2012

Belajar dari ‘Kearifan segenggam garam’

Dahulu kala, hiduplah seorang lelaki tua yang terkenal sholeh dan bijak. Di suatu pagi yang dingin, datanglah seorang lelaki muda yang sedang di sedang landa masalah. Dengan langkah gontai dan rambut kusut, ia tampak seperti orang yang tak pernah mengenal bahagia. Tanpa menunda waktu, ia mengungkapkan segala keresahannya. Impiannya yang gagal, karir, cinta, dan hidupnya yang tidak pernah berakhir bahagia. Bapak tua yang bijak itu hanya mendengarannya dengan teliti dan seksama. Tanpa berkata apa-apa, ia hanya mengambil segenggam garam dan memasukkannya ke segelas air, lalu mengaduknya dan berkata, “Coba minum ini, dan katakan bagaimana rasanya??”.
Dan pemuda itu pun meminum segelas air yang telah diberikan oleh pak tua. “Ahh.., asin sekali! Pahit pak!!”, jawab pemuda tersebut. Pak tua itu hanya tersenyum, lalu mengajak anak muda tersebut berjalan ke tepi telaga yang ada dalam hutan dekat tempat tinggalnya.
Setelah menempuh perjalanan yang tidak terlalu jauh, akhirnya sampailah mereka di tepi telaga yang tenang. Masih dengan mata yang tenang dan penuh dengan cinta, orang tua yang bijak itu menaburkan segenggam garam ke dalam telaga. Dengan sepotong kayu, diaduknya air telaga yang membuat gelombang dan riak kecil.
Setelah air telaga tenang, ia pun berkata, “Anak muda, coba kamu cicipi air telaga tersebut, dan minumlah”. Setelah anak muda tersebut meneguk air telaga, pak tua bertanya lagi, “Bagaimana rasanya??”. “Mm.., ini baru segar sekali rasa airnya Pak tua”, jawab anak muda tersebut.
“Dan apakah kamu masih merasakan garam di dalam air tersebut?”, tanya pak tua. “Tidak, sepertinya tidak, sedikitpun aku tidak merasakan asin!”.
Mendengar hal itu, dengan bijak Pak tua menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di tepi telaga dan berkata, “Anak muda, pahitnya kehidupan seumpama segenggam garam. Tidak lebih dan tidak kurang! Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama. Tapi, kepahitan yang kita rasakan akan sangat tergantung dari wadah atau tempat yang kita miliki”.
Kepahitan itu selalu berasal dari bagaimana kita meletakkan segalanya. Dan itu tergantung pada hati kita. Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya satu hal yang boleh kita lakukan. Lapangkanlah dada untuk menerima semuanya, luaskan hati untuk menampung sebuah kepahitan tersebut, luaskan wadah pergaulan supaya kita mempunyai pandangan hidup yang luas. Maka, kita akan banyak belajar dari keleluasaan tersebut. Hati adalah wadah itu, perasaan adalah tempat itu, kamu adalah tempat menampung segalanya. Jadi jangan jadikan hati seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam semua kepahitan itu, dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.
Keduanya lalu beranjak pulang, mereka sama-sama belajar dari hati. Dan Pak tua si orang bijak tersebut, kembali menyimpan segenggam garam, untuk anak muda yang lain yang sering datang padanya yang membawa keresahan jiwa.

0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►